Tuesday, August 29, 2006

Al-Mukarrom Mbah Janggelan

Siang ini hawa terasa sangat panas di kampungku, hal tesebut disebabkan sawah-sawah udah pada selesai dipanen dan kebetulan sekarang ini adalah musim kemarau.
Sebagai ritual keseharian di rumah waktu pulang kampung, setiap pagi dan siang hari aku harus mengantar dan menjemput sekolah ratu kecilku ayu yang sekarang ini sudah mulai beranjak remaja. Entah dengan maksud atau alasan apa tiap kali aku pulang kampung dia selalu minta diantar dan dijemput sekolah, padahal setiap harinya dia harus mengayuh pedal sepedanya sejauh 3 Km untuk sampai di sekolah.
Udara panas musim kemarau membuat aku dan si Ayu kehausan, dan kami pun memutuskan untuk membeli es Janggelan ( Kalau di kota dinamakan es cincau) yang telah menjadi langganan si Ayu dan teman-temannya ketika pulang sekolah. Warung Es Janggelan ini berada di jalan pinggiran desatepat di bawah pohon randu (pohon penghasil kapas) dan menempati gubuk yang sangat sederhana dan beratapkan Daduk (Daun tebu yang di anyam untuk dijadikan atap). Aku pun memesan “ Es Kaleh Pak” ( Es Dua Pak) dan dengan cekatan bapak itu mulai melayani kami. Sambil menunggu es aku mengambil Onde-onde (Jajanan yang terbuat dari kacang merah yang dihaluskan dan dibungkus dengan tepung).
Mata dan bathinku terus berproses dengan keras ketika melihat dinamisasi gerakan tubuh dari Mbah Janggelan ketika menyiapkan Es Janggelan untukku dan Ayu. Pedagang Es Janggelan merupakan sepasang suami istri yang kira-kira berumur 70 tahun, sang mbah kakung ( yang laki-laki ) memakai baju yang warnanya sudah mulai memudar dipadu dengan celana pendek pantolan (celana yang terbuat dari kain dreel kualitas terjelek yang biasa dijual di pasar tradisional) tapi mata dlohirku waktu itu terpesona dengan wajah pasangan ini yang bersih bersinar dan dibalut dengan senyuman yang khas orang desa.
Si Mbah puteri nenberisihkan gelas dan memasukkan dalam ember dan terlihat sedang berkemas-kemas dan aku akhirnya tahu kenapa si mbah putri ini sibuk sejak tadi, ternyata ia akan berkemas pulang untuk giliran sholat Dluhur dengan sang suami…(Subhanallah)
Tanpa terasa akhirnya Es yang tlah tersedia untukku dan ayu sudah habis kami minum dan kami pun membayar lalu pulang.
Di perjalan pulang aku dan ayu ngobrol tentang Es Janggelan tadi, ayu bercerita katanya temannya dulu pernah bertanya sama Mbah kakung tadi kenapa es Janggelannya sudah murah tidak pakai pemanis buatan lagi, sang Mbah menjawab, Nak….nak wong saya saja kalau minum dengan pemanis buatan saja batuk apalagi orang lain. Jadi meskipun dengan keuntungan yang sedikit gak papa asal orang lain tidak batuk. (Masya Allah) hatiku bergetar ketika mendengar cerita ayu itu….
Diam-diam batinku pun berbicara…., Ya Allah suatu saat nanti izinkan aku untuk dapat menikmati lagi Es Janggelan buatan Mbah Janggelan yang Mulia itu. Aku berharap bisa belajar banyak tentang kehidupan beliau yang jujur meskipun dengan dengan resiko keuntungan yang sedikit, tetap harmonis dengan sang istri hingga usia senja, tetap istiqomah meskipun fisik pun mulai renta. Mbah sudikah engkau membagi pesona dirimu dalam diriku yang selalu meronta ini?

Wednesday, August 23, 2006

Allah Pun Bertanya...

Afahasibtum Annamaa Khalaqnaakum ‘abatsan…?
Kalo diterjemahkan dengan bahasa Jawa bebas “ Rumangsamamu Aku nggawe kowe kabeh iki dolanan ‘po? ( Menurutmu aku buat kamu semua ini mainan apa?)
Apa yang berada dalam pikiran anda bila membaca perkataan Allah itu? Ngeri, Takut, Kagum atau bahkan Cuek?
Saya sangat malu sebagai manusia yang dloif ketika membaca perkataan Allah tersebut, pertanyaan yang dilantorkan Allah tersebut merupakan sebuah ungkapan dari sifat keilahian Allah sang Khaliq kepada hamba yang telah diciptakanNya.
Rasa malu itu ada karena sebagai hamba Allah saya tidak bisa dengan maksimal untuk mengabdi pada Allah, sedangkan Allah sendiri telah dengan maksimal menciptakan saya dan manusia yang lain dengan tidak main-main…
Oh itulah Allah yang selalu bertindak dengan sempurna karena Ia maha sempurna…
Melihat alasan-alasan diatas kita sebagai manusia yang diciptakan Allah untuk terus tidak melaksanakan kewajiban dalam memenuhi hak-hak Allah atau bahkan dengan percaya diri yang tinggi kita mengaku telah memiliki hak Allah itu, Gak tahu diri banget manusia
Manusia memang tempatnya salah dan lupa, tapi haruskah itu yang menjadi alasan klasik manusia untuk memaafkan dan mentolelir kesalahannya sendiri?

Gelap Itu Indah....

Entan setyawan namanya……
Kisahnya membuat aku merinding kaku pagi itu. Dia bertutur tentang kisah hidupnya yang harus buta sejak lahir…
Daia telah cacat mata sejak lahir dia tumbuh terus hingga sekarang sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak…
Dalam mimik wajah yang polos dia mengungkapkan keinginannya yang pada saat itu kontan membuat darahku seakan berhenti…
“ Sampai saat ini saya hanya ingin melihat wajah ibu yang melahirkan dan merawat saya hingga besar. Dan bahkan saya tidak bias membayangkan wajah ayah saya yang telah meninggal beberapa tahun lalu…,tapi saya pun yakin bahwa saya kan bertemu dengan beliau dan bisa menatap wajahnya sepuasnya di alam yang lain nanti…”
Kita sebagai manusia yang tidak buta mestinya harus banyak berguru pada entan sang buta. Pernahkah kita memncoba merenungkan berapa banyak yang terbuang sia-sia karena tidak dapat dengan maksimal mengabdi menjadi anak yang baik pada orang tua kita…?
Seseorang memang terkadang kurang bias mensyukuri sesuatu yang dimilikinya, dan biasanya dia merasa membutuhkan bila sesuatu itu tidak berada ditangannya…
Saya sempat mencoba untuk memejamkan mata beberapa saat, untuk berusaha merasakan keadaan entan, tapi apa yang kurasa saya merasakan kegelapan yang membelenggu, karena saya biasa menggunakan mata dlohir dalam melihat, akan tetapi yang dirasakan entan?dia merasa itu hal biasa ketika ia berjalan ia banyak menggunakan tongkat sebagai sensor rasa mata bathinnya untuk mencari jalan biar tidak tersandung atau bahkan terperosok dalam lubang.
Gelap kata entan adalah indah…karena bathinnya merasa terasah dengan baik di kegelapan matanya.
Bisakah kita mengasah mata bathin kita dengan mata terbuka?sehingga kita bisa mengetahui sebuah kebenaran dan keindahan hakiki bukan dari pandangan mata dlohir saja? ( terinspirasi oleh acara menjelang fajar SCTV )

Tuesday, August 08, 2006

Cinta-Ku Terbang Tinggi


Tulisan ini berawal dari sebuah perenungan yang mendalam tentang situasi yang berkembang di Indonesia dewasa ini. Dari hasil perenungan itu penulis menganggap banyak sekali hal-hal yang telah keluar dari framework dinamika dunia yang seharusnya.

Banyak sekali kejadian-kejadian di depan mata kita yang membuat hati kita tersayat pedih, dimana banyak sekali manusia yang sudah tega menyakiti dan mendzolimi saudaranya sendiri, kompetesi sudah tidak lagi sehat, sistem pendidikan yang membingungkan, kecelakaan pesawat dan kereta dimana-mana, dan pada akhir tahun 2004 kemarin bumi Indonesia telah berduka lagi dengan adanya bencana tsunami dan gempa bumi Aceh, Sumatera Utara, Yogyakarta, banjir di sulawesi dan Kalimantan dan yang sampai sekrang masih terjadi banjir Lumpur di Porong Sidoarjo .

Fenomena diatas telah mengganggu pikiran penulis hingga berhari-hari dan penulis pun sempat bertanya pada Tuhan, Apakah semua itu merupakan Ujian atau Azab Tuhan?? dan tak lama kemuadian Tuhan pun menjawab: “Carilah sesuatu yang paling substansi dan menjadi ruh dari setiap hubungan di bumi ini”, dan hal itulah yang telah terbang dari bumi Indonesia”. Jawaban Tuhan itu menjadi tantangan penulis untuk memecahkannya, dan penulis pun berpikir keras lagi sampai akhirnya memberanikan diri untuk melakukan ijtihad pribadi bahwa penyebab itu semua karena “cinta telah terbang dari bumi Indonesia”. karena cinta adalah ruh yang harus ada dalam relasi di bumi.

Berbicara mengenai cinta, merupakan suatu hal yang sangat sulit dan penuh dengan penafsiran yang subyektif dari masing-masing kepala , dalam hal ini ini penulis juga memberanikan diri untuk mengungkapkan suyektifitas penualis ke dalam lembaran kertas sebagai penuangan aktualisasi penulis tentang cinta.

Penulis akan memulai tulisan ini dengan pamaknaan cinta, menurut penulis cinta adalah sesuatu yang bersifat materiil tak tampak oleh mata, berada dimana-mana dan menjadi ruh atau kekuatan setiap gerak dan langkah dari setiap struktur yang berada di alam ini. Dan bahkan penulis menganggap bahwa cinta itu menpunyai sebuai kekuatan yang sangat dasyat yang dapat mengubah sesuatu yang tidak mungkin terjadi menjadi mungkin terjadi, hal tersebut kita rasakan bila kita sedang mencintai sesuatu entah itu berupa manusia, harta benda lebih-lebih Tuhan.

Penulis menganggap dalam cinta itu ada tiga unsur penting yang menjadi simbol dari para subyek yang sedang mencinta untuk mengaktualisasikan rasa yang ada dalam dirinya kepada yang di cintai, unsur itu adalah:
1. Kepasrahan
Suatu kepasrahan akan muncul dalam setiap subyek yang sedang mencinta, dia kan menyerahkan secara total apa yang ada dalam dirinya kepada sesuatu yang di cintainya itu,
2. Kerinduan
Rasa rindu akan selalu ada dalam setiap pencinta selalu ingin selalu berjumpa dengan yang dicintainya dan hanya perjumpaan yang bias mengobati itu.
3. Keintiman
Merupakan suatu posisi dimana keduanya telah berada dalam suatu titik focus dari hakikat rasa cinta subyek yang sedang jatuh cinta.
Di dunia ada tiga subyek besar yang melakukan interaksi yang menjadi kunci keberadaan dunia yaitu, Tuhan, manusia, dan Alam. Ketiga subyek tersebut melakukan interaksi secara seimbang dan berkesinambungan sesuai dengan kodratnya masing-masing. Dan yang menjadi kunci utama atau ruh dari interaksi itu adalah cinta.

Tuhan menciptakan manusia dan alam dengan cinta-Nya yang tulus dan selalu menebarkan rasa cinta itu sampai detik ini, manusia membutuhkanTuhan dan alam demi kelangsungan hidupnya dan begitu juga dengan dengan alam. Proses yang demikian itulah yang biasanya dinamakan Sunnatullah.

Sunnatullah haruslah selalu dijaga dinamika dan keberadaannya, karena jika tidak maka akan terjadi sebuah kejadian dasyat yang ditimbulkan semua itu, hal tersebut akan berakibat buruk bagi penyebab kejadian itu atau subyek yang merusak interaksi atau sunnatullah itu.

Dalam fenomena keindonesiaan seperti yang sedang terjadi dewasa ini seakan merupakan suatu indikasi bahwa terjadi kesalahan yang sangat krusial dari ketetapan sunnahtullah yang dilakukan manusia Indonesia.

Hal tersebut telah terbukti bahwa Indonesia sekarang ini mengalami klrisis multidimensi yang sedang berada pada titik yang mengkuatirkan keberlangsungan hidup negara ini, belum lagi banyaknya gejolak alam yang seakan merupakan sikap alam yang sudah mulai bosan dengan manusia (meminjam istilah Ebiet G Ade) , Kumungkaran sudah tidak ditutupi lagi dan ngerinya lagi kemungkaran telah menjadi trademark suatu pola hidup.

Indonesia menangis hari ini setelah puluhan ribu manusia “yang belum tentu berdosa” telah menjadi korban dari reaksi alam yang mendapat rekomendasi dari Tuhan karena merasa terdzolimi juga atas tindakan beberapa gelintir manusia yang hanya mengedepankan nafsunya sendiri dan telah melakukan pengkhianatan terhadap kepasrahan sunnahtullah.

Alam Indonesia sekarang seakan tidak lagi bersahabat dengan manusia, para petani menangis kelaparan padahal sangat ironis karena dia yang telah menanam bahan pangan yang menjadi kebutuhan semua manusia.

Hidup di Indonesia seakan gersang, panas, dan membosankan. Penulis menganggap rasa itu ada karena sudah tidak ada lagi cinta yang menjadi ruh setiap interaksi subyek dunia dan itu dilakukan oleh salah satu subyeknya yaitu manusia Indonesia sendiri. Hal tersebutlah yang menurut penulis membuat Cinta terbang tinggi dari bumi Indonesia.

Akankah cinta turun lagi di bumi Indonesia ini ???? Penulis menganggap itu akan terjadi bila manusia Indonesia melakukan suatu evaluasi secara kolektif tentang dinamika yang telah terjadi agar supaya dapat melakukan tindakan lebih lanjut untuk memperbaiki hubungan dia dengan subyek lain yang berada di dunia ini. Denagan kata lain manusia Indonesia harus melakukan suatu pengakuan kepada Tuhan dan Alam tentang kesalahan yang telah ia perbuat dan mempunyai komitmen untuk memperbaikinya, dan itupun harus dilakukan secara kolektif karena itu yang membuat yakin Tuhan dan Alam mersa yakin bahwa manusia Indonesia untuk menepati komitmennya.

Tulisan diatas merupakan bentuk aktualisasi kerinduan penulis terhadap suasana dan keadaan Indonesia yang “Tata tenteram kerto raharjo gemah ripah lohjinawi” yang seakan hanya menjadi simbol belaka di bumi Indonesia ini.Wallahua’lamBishowab

Yogyakarta 9 Agustus, 2006

Elegi Jajan Lupis


Pagi ini saya dan ari berusaha menghilangkan kebiasaan buruk kami yaitu tidur setelah Sholat Shubuh dengan Joging …..
Karena tidak pernah lari, tubuh kami tidak mau diajak kompromi itu terbukti baru kira-kira 1 Km berlari kaki saya terasa kesemutan hehehehehe….1000x. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan saja dengan sedikit keringat yang sudah mulai membasahi baju. Sambil berjalan kami ngobrol tentang berbagai macam hal mulai dari Anak-anak kecil yang mau sekolah, gedung UIN SUKA yang retak akibat gempa 27 Mei 2006 hingga cewek cantik berjilbab yang naik sepeda onthel  ( jangan diartikan yang macam-macam ya!!!).
Sudah kami rencanakan sebelumnya, setelah joging kami akan mampir ke pasar untuk mencari jajan pasar sebagai teman minum kopi. Kami berdua masuk ke pasar dan mencari jajanan. Kami mondar-mandir tanpa arah karena gak ngerti tempat penjual jajanan dan beberapa saat kemudian kami pun menemukannya. Kami pun mulai memilih dengan penuh pertimbangan karena uang kami berdua setelah dikumpulkan hanya berjumlah Rp.4200 akhirnya kami memutuskan dengan membeli 2 arem-arem dan 2 gorengan, uang kami sisa 1900. Dan kami pun mencari jajanan lain yang bisa dibeli dengan sisa uang kami tersebut. Setelah berjalan kami melihat mbah-mbah kira-kira umurnya 80 tahun yang sedang duduk sambil menata dagangannya. Mbah ini berjualan lupis (makanan khas pasar yang terbuat dari ketan dan cara penyajiannya dengan diiris setebal 0,5 Cm dan diatasnya ditaburi kelapa parut plus sauce yang terbuat dari gula merah yang telah dicairkan). Lalu kami pun mendatangi mbah itu, saya berkata “ Mbah tumbas Lupis niki wonten yotro 1900 njenengan dadosaken kale nggeh” ( Mbah beli lupis ini ada uang 1900 mohon dijadikan 2 bungkus ya). Mbah itu pun menganggukkan kepalanya. Dengan cekatan mbah itu membersihkan daun pisang dan membungkus pesanan kami. Sambil menunggu kupandangi terus gerak-gerik mbah penjual itu mulai dari penampilan, stock makanan hingga cara duduk.
Tepat dibelakang pasar itu berdiri Plaza Ambarukmo yang berdiri megah dan didalamnya terdapat berbagai macam barang kebutuhan hidup mulai tusuk gigi hingga Mobil dan tentunya jajanan modern yang berwarna-warni.
Setelah menerima Lupis kami pun berjalan pulang, namun otakku yang nakal ini pun berpikir keras untuk mengkalkulasi nilai rupiah dari dagangan mbah tadi dengan cara membagi jumlah secara keseluruhan stock barang mbah Lupis dengan lupis yang kami beli dan saya perkirakan nilai rupiah dari dagangan dari mbah Lupis itu tidak Sampai Rp 50000. Saya banyak mendapatkan banyak pelajaran berharga pagi ini dari seorang mbah 80 tahunan penjual Lupis yang matanya pun sudah mulai kabur (tanpa sengaja kulihat dia meraba mencari sendok untuk sauce gula meskipun matanya terfokus pada tempat sauce gula itu). Pelajaran berharga dari mbah itu adalah semangat hidup yang luar biasa meskipun dengan keterbatasan kemampuan beliau tetap percaya diri dan optimis ditengah persaingan ekonomi yang demikian dasyatnya. Dan hal tersebut merupakan sebuah bukti dari rizki yang min haitsu la yahtasib.
Pasar dan Plaza memang melayani segmen konsumen yang mungkin berbeda. Akan tetapi bila plaza sudah melakukan agresi kepada pasar tradisional dengan menjual barang yang biasa dijual dipasar tradisional maka harmonisasi kehidupan pedagang pasar tradisional pun fan tanziri sa’a untuk gulung tikar. Bagaimana nasib mbah Lupis bila Lupis pun sekarang mulai dijual di Plaza? Dengan sedikit kemasan agak rapi harga Lupis pun bisa berlipat ganda, dan para orang kaya pun bisa menikmati sepuasnya Lupis yang merupakan trademark pasar tradisional dengan duduk bersantai di Stand Food Center tanpa sekikit pun kehilangan gengsi. Dan kalau boleh agak ekstrim saya berpendapat disitulah cikal bakal kesenjangan antara orang kaya dan miskin, modern dan tradisional dan permasalah bangsa lainnya.
Bagaimana orang kaya bisa merasakan penderitaan orang miskin kalau mereka tidak pernah ke pasar tradisional dengan berinteraksi secara langsung dengan pedagang seperti mbah Lupis dan merasakan aroma khas pasar tradisional yang sedikit menusuk hidung (saya yakin bahkan haqqul yaqin bahwa sensifitas kepada orang miskin bisa diasah di pasar)
Menurut imajinasi saya, Keharmonisan kehidupan bangsa ini bisa dibangun lagi dengan cara tidak membiarkan Plaza untuk melakukan agresi kepada pasar tradisional dengan berusaha memboyong kekhasan pasar tradisional ke Plaza.
Kepada semua sahabat entah yang masih miskin atau yang sudah kaya marilah kita sering-sering bersilaturrohmi ke pasar tradisional dengan merasakan suasana, aroma dan hidangan khas pasar yang mungkin sangat kita rindukan. Semoga mata bathin kita selalu terbuka dan sensifitas kita menjadi tajam dalam melihat realitas sosial yang ada. Mungkin ini secuil manifestasi Ta’awwanu ala al-birri wa Taqwa dari saya semoga bermanfaat.Amin.