Tuesday, August 08, 2006

Elegi Jajan Lupis


Pagi ini saya dan ari berusaha menghilangkan kebiasaan buruk kami yaitu tidur setelah Sholat Shubuh dengan Joging …..
Karena tidak pernah lari, tubuh kami tidak mau diajak kompromi itu terbukti baru kira-kira 1 Km berlari kaki saya terasa kesemutan hehehehehe….1000x. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan saja dengan sedikit keringat yang sudah mulai membasahi baju. Sambil berjalan kami ngobrol tentang berbagai macam hal mulai dari Anak-anak kecil yang mau sekolah, gedung UIN SUKA yang retak akibat gempa 27 Mei 2006 hingga cewek cantik berjilbab yang naik sepeda onthel  ( jangan diartikan yang macam-macam ya!!!).
Sudah kami rencanakan sebelumnya, setelah joging kami akan mampir ke pasar untuk mencari jajan pasar sebagai teman minum kopi. Kami berdua masuk ke pasar dan mencari jajanan. Kami mondar-mandir tanpa arah karena gak ngerti tempat penjual jajanan dan beberapa saat kemudian kami pun menemukannya. Kami pun mulai memilih dengan penuh pertimbangan karena uang kami berdua setelah dikumpulkan hanya berjumlah Rp.4200 akhirnya kami memutuskan dengan membeli 2 arem-arem dan 2 gorengan, uang kami sisa 1900. Dan kami pun mencari jajanan lain yang bisa dibeli dengan sisa uang kami tersebut. Setelah berjalan kami melihat mbah-mbah kira-kira umurnya 80 tahun yang sedang duduk sambil menata dagangannya. Mbah ini berjualan lupis (makanan khas pasar yang terbuat dari ketan dan cara penyajiannya dengan diiris setebal 0,5 Cm dan diatasnya ditaburi kelapa parut plus sauce yang terbuat dari gula merah yang telah dicairkan). Lalu kami pun mendatangi mbah itu, saya berkata “ Mbah tumbas Lupis niki wonten yotro 1900 njenengan dadosaken kale nggeh” ( Mbah beli lupis ini ada uang 1900 mohon dijadikan 2 bungkus ya). Mbah itu pun menganggukkan kepalanya. Dengan cekatan mbah itu membersihkan daun pisang dan membungkus pesanan kami. Sambil menunggu kupandangi terus gerak-gerik mbah penjual itu mulai dari penampilan, stock makanan hingga cara duduk.
Tepat dibelakang pasar itu berdiri Plaza Ambarukmo yang berdiri megah dan didalamnya terdapat berbagai macam barang kebutuhan hidup mulai tusuk gigi hingga Mobil dan tentunya jajanan modern yang berwarna-warni.
Setelah menerima Lupis kami pun berjalan pulang, namun otakku yang nakal ini pun berpikir keras untuk mengkalkulasi nilai rupiah dari dagangan mbah tadi dengan cara membagi jumlah secara keseluruhan stock barang mbah Lupis dengan lupis yang kami beli dan saya perkirakan nilai rupiah dari dagangan dari mbah Lupis itu tidak Sampai Rp 50000. Saya banyak mendapatkan banyak pelajaran berharga pagi ini dari seorang mbah 80 tahunan penjual Lupis yang matanya pun sudah mulai kabur (tanpa sengaja kulihat dia meraba mencari sendok untuk sauce gula meskipun matanya terfokus pada tempat sauce gula itu). Pelajaran berharga dari mbah itu adalah semangat hidup yang luar biasa meskipun dengan keterbatasan kemampuan beliau tetap percaya diri dan optimis ditengah persaingan ekonomi yang demikian dasyatnya. Dan hal tersebut merupakan sebuah bukti dari rizki yang min haitsu la yahtasib.
Pasar dan Plaza memang melayani segmen konsumen yang mungkin berbeda. Akan tetapi bila plaza sudah melakukan agresi kepada pasar tradisional dengan menjual barang yang biasa dijual dipasar tradisional maka harmonisasi kehidupan pedagang pasar tradisional pun fan tanziri sa’a untuk gulung tikar. Bagaimana nasib mbah Lupis bila Lupis pun sekarang mulai dijual di Plaza? Dengan sedikit kemasan agak rapi harga Lupis pun bisa berlipat ganda, dan para orang kaya pun bisa menikmati sepuasnya Lupis yang merupakan trademark pasar tradisional dengan duduk bersantai di Stand Food Center tanpa sekikit pun kehilangan gengsi. Dan kalau boleh agak ekstrim saya berpendapat disitulah cikal bakal kesenjangan antara orang kaya dan miskin, modern dan tradisional dan permasalah bangsa lainnya.
Bagaimana orang kaya bisa merasakan penderitaan orang miskin kalau mereka tidak pernah ke pasar tradisional dengan berinteraksi secara langsung dengan pedagang seperti mbah Lupis dan merasakan aroma khas pasar tradisional yang sedikit menusuk hidung (saya yakin bahkan haqqul yaqin bahwa sensifitas kepada orang miskin bisa diasah di pasar)
Menurut imajinasi saya, Keharmonisan kehidupan bangsa ini bisa dibangun lagi dengan cara tidak membiarkan Plaza untuk melakukan agresi kepada pasar tradisional dengan berusaha memboyong kekhasan pasar tradisional ke Plaza.
Kepada semua sahabat entah yang masih miskin atau yang sudah kaya marilah kita sering-sering bersilaturrohmi ke pasar tradisional dengan merasakan suasana, aroma dan hidangan khas pasar yang mungkin sangat kita rindukan. Semoga mata bathin kita selalu terbuka dan sensifitas kita menjadi tajam dalam melihat realitas sosial yang ada. Mungkin ini secuil manifestasi Ta’awwanu ala al-birri wa Taqwa dari saya semoga bermanfaat.Amin.

No comments: